- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Juni 2015 silam, Komunitas Pecinta Alam Gereja Maria Bunda
Karmel (KPA MBK) membuka trip pendakian ke Gunung Papandayan, Garut, Jawa
Barat. Jiwa ini tertarik ditambah ajakan dari ketua OMK wilayah 10, Kak Deni
Setiawan.
Saat itu, aku pemula. Tak punya bekal ilmu soal mendaki.
Tapi aku berangkat tanpa tahu apa yang dibutuhkan (di luar daftar bawaan yang
diberikan) selama proses pendakian hingga ke puncak. Persiapan dengan pikiran
“yang penting barang masuk ke dalam tas gunung”. Siap juga dengan sendal
gunung, matras di luar keril, serta tinggi keril melebihi tinggi badan, seolah siap
menuju puncak Papandayan.
Bersama “partner in pray”ku–yang setiap pulang sekolah
melipir ke ruang doa di gereja alias Leony alias Lele, dan ke-24 peserta
lainnya, berangkat malam hari dari Gereja MBK.
Rasa kantuk tapi tak ingin tidur dicampur rasa tidak sabar
ingin tau rasanya naik gunung membuat perjalanan terasa lama. Ku putuskan untuk
tidur dengan tujuan menyimpan energi untuk nanjak.
Keluar bus dengan suhu udara yang berbeda jauh dari suhu
udara Jakarta membuat badan bergetar. Dipinta untuk berjalan menuju basecamp,
sembari melihat matahari terbit dan menanti paparan cahaya matahari
menghangatkan tubuh. Panitia mengurus simaksi, sedang yang lain sibuk memesan
sarapan.
Setelah sarapan selesai, kami para peserta pendakian
berkumpul dan meregangkan otot bersama, serta berdoa mohon restu Tuhan selama
pendakian, lalu cuss berangkaat.
Apalah kami yang tidak tau menau soal pakaian yang pas untuk
nanjak. Kaus polos bewarna, jaket tebal, celana jeans, kaus kaki, sandal
gunung, buff di kepala, serasa pendaki betul saat itu. Bayangin, masa pake
jeans woyy?? *yakan mana tau* Oke next.
Baru seperempat pendakian, napas sudah tak beraturan.
Sesekali duduk di atas batuan besar. Sesekali senyum dan bergaya saat abang
Chris sang fotografer lewat. Sesekali mengabadikan pemandangan dengan Xiaomi
Red Mi Note pertama.
Jalur yang agak sulit dipijak karena dipenuhi bebatuan kecil
dan pasir, aroma belerang yang menyengat membuat bernapas tak lega, namun
kebulan asapnya melengkapi keindahan pemandangan.
Disambut bunga Edelweis, rombongan segera menyiapkan tenda
dan makan siang. Tak sedikit pendaki yang berkemah rupanya. Perjalanan kami 4
jam. Itu perjalanan santai dan seringnya beristirahat.
Tidak terasa, rupanya semakin gelap langit semakin rendah
suhu udara, saling peluk untuk menghangatkan.
Api unggun menyala, segala minuman panas ditenggak, dan
langit cerah yang menampakkan bintang-bintang berserakan. Rasanya saat itu
ingin cepat sampaikan pada kawan-kawan “woyy sumpah gua liat galaksi keren
banget!! Lo semuua harus liat woyy!!” Perasaan norak itu menggebu bersama Lele.
Rasanya juga ingin mengabadikan bintang-bintang itu, sayangnya kamera ponsel 13
megapixel tak sanggup menangkapnya. Untung ada kamera dslr milik bang Chris
yang mau dipintakan tolong untuk memotret diri. Rasanya juga ingin membawa
bintang dalam kantong plastik. Sayangnya mustahil.
Malam ini rasanya tak ingin cepat usai. Tapi apadaya tubuh
harus diistirahatkan. Ketika sedang mencoba tidur, kawan rombongan rupanya
dirasuki makhluk gaib. Makin gabisa tidur. Tapi kisahnya ini membuat kami jauh
lebih hangat. Kenapa? Iya, soalnya satu rombongan masuk ke 1 tenda muatan 8
orang :) yaa terhitung 20an orang masuk lah ke tenda itu. Gimana gak anget
yakan.
paginya, meski tak sempat menikmati matahari terbit, namun
kami tetap jalan menuju ke kawah putih untuk melihat pemandangan yang tidak
bisa di nikmati di Jakarta.
Usai itu, bersiap pulang kembali ke basecamp dan back to
reality hohoo
Ini beberapa rincian pengeluaran pendakian Papandayan. (Ini
tahun 2015 yaa)
Pendakian Papandayan ini menghabiskan uang sebanyak 300.000
Rp 125.000 bus pariwisata
Rp 80.000 logistik
Rp 75.000 truk dari basecamp
Rp 20.000 simaksi
Inilah pendakian pertama saya, Gunung Papandayan 2.665mdpl.
Diposting: Jakarta, 14 April 2018
(Repost: Jakarta, 2 November 2019)
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar